Sabtu, 05 Januari 2019

Arbritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi


Arbritrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi
Konstruksi merupakan aktivitas yang tidak sederhana, bersifat multidisiplin serta dipengaruhi oleh banyak kepentingan. Tak heran apabila sengketa konstruksi rentan terjadi. Dalam catatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sengketa konstruksi mendomininasi 420 kasus yang ditangani BANI pada periode 1999 sampai dengan 2016, yakni 30,8% dari total kasus.[1]
Di bawah rezim Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan. Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan yang dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase, baik berupa lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi, konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU Jasa Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Adapun tahapan penyelesaian sengketa yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah sebagai berikut:
1.         mediasi;
2.         konsiliasi; dan
3.         arbitrase.
Serta adanya dewan sengketa yang dalam bagian Penjelasan UU Jasa Konstruksi 2017 diberikan pengertian sebagai tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi untuk mencegah dan menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi.
Dengan demikian, semangat yang diusung dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah penyelesaian secara musyawarah dan mufakat dengan mengutamakan penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Namun demikian, kiranya perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) UU Jasa Konstruksi 2017. Dalam Pasal 47 ayat (1) UU Jasa Konstruksi 2017, salah satu klausula yang dipersyaratkan tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi adalah ketentuan mengenai: (a) penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; dan (b) pilihan penyelesaian sengketa konstruksi. Dalam bagian penjelasan Pasal 47 ayat (1) mengenai penyelesaian perselisihan disebutkan:
Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam Kontrak Kerja Konstruksi serta ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian.
Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan “penyelesaian perselisihan” dan “penyelesaian sengketa”. Apabila mengacu pada pengertian “sengketa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “sengketa” berarti pula “perselisihan”.[2]Dengan demikian, dalam UU Jasa Konstruksi 2017 masih tercantum upaya hukum penyelesaian perselisihan melalui pengadilan, walaupun dalam batang tubuh UU Jasa Konstruksi 2017 tidak mencantumkan hal tersebut.
Mekanisme penyelesaian sengketa melalui upaya di luar jalur pengadilan kiranya tepat untuk diterapkan pada sengketa konstruksi dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, kerahasiaan mengenai sengketa. Kerahasiaan merupakan salah satu keunggulan dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, baik pada saat proses maupun terhadap putusan yang tidak dipublikasikan. Mengingat konstruksi terkait dengan banyak proses yang mana tidak seluruhnya dapat dibuka untuk umum, terutama apabila bangunan yang menjadi obyek sengketa termasuk dalam objek vital negara. Selain itu, diperlukan untuk menjaga hubungan baik di antara para pihak, mengingat pelaku usaha dalam bidang jasa konstruksi adalah terbatas.
Kedua, para pihak dapat memilih pihak penengah (mediator/konsiliator/arbitrator) yang memiliki keahlian di bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987), sengketa konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1.         Sengketa berkaitan dengan waktu (keterlambatan progress);
2.         Sengketa berkaitan dengan finansial (klaim dan pembayaran);
3.         Sengketa berkaitan dengan standar pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
4.         Konflik hubungan dengan orang-orang di dalam industri konstruksi.
Pada umumnya sengketa-sengketa tersebut atas akan berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan hal-hal bersifat teknis. Pada dasarnya Kontrak Kerja konstruksi merupakan kontrak yang bersifat khusus yang mana memuat banyak aspek teknis.Sebagai contoh, sengketa berkaitan dengan pembayaran dengan sistem prosentase progress pekerjaan sebagai syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait dengan penentuan progress pekerjaan yang dapat diklaim. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa konstruksi, tidak saja dibutuhkan ahli hukum, namun diperlukan ahli pada disiplin ilmu lain, terutama aspek teknis, untuk memahami akar permasalahan.
Ketiga, jangka waktu penyelesaian sengketa jelas dan relatif singkat. Walaupun perihal jangka waktu penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak selalu terjadi karena di beberapa negara penyelesaian melalui jalur litigasi dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, namun saat ini harus diakui bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan jalur di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat tentu lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat segera memperoleh kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi. Bagi pelaku usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa konstruksi akan berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada kelangsungan pekerjaan, pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna jasa, kepastian pembayaran. Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang berlarut-larut dapat menghambat keterlibatan penyedia jasa pada tender-tender proyek yang diselenggarakan oleh pengguna jasa yang sedang bersengketa.
Di samping ketiga hal tersebut di atas, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk melalui sektor konstruksi, maka dalam pengikatan kontrak-kontrak internasional, dalam pengalaman penulis, penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan lebih diminati.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates