Arbritrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dalam Penyelenggaraan Konstruksi
Konstruksi merupakan aktivitas yang
tidak sederhana, bersifat multidisiplin serta dipengaruhi oleh banyak
kepentingan. Tak heran apabila sengketa konstruksi rentan terjadi. Dalam
catatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sengketa konstruksi
mendomininasi 420 kasus yang ditangani BANI pada periode 1999 sampai dengan
2016, yakni 30,8% dari total kasus.[1]
Di bawah rezim Undang-Undang No.18
Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi
tersedia melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar jalur
pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan dapat
ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, dan dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
Serta tidak tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi. Jenis penyelesaian melalui jalur di luar pengadilan yang
dimaksud dalam UU Jasa Konstruksi 1999 antara lain arbitrase, baik berupa
lembaga atau ad-hoc yang bersifat nasional maupun internasional, mediasi,
konsiliasi atau penilai ahli.
Sementara itu, dalam
Undang-Undang No.2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, sebagai pengganti UU Jasa
Konstruksi 1999, penyelesaian sengketa yang timbul dari Kontrak Kerja
Konstruksi diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Dalam hal para pihak
yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian sengketa
ditempuh melalui tahapan upaya penyelesaian sengketa yang tercantum dalam
Kontrak Kerja Konstruksi atau dalam hal tidak tercantum dalam Kontrak Kerja
Konstruksi, para pihak bersengketa membuat suatu persetujuan tertulis mengenai
tata acara penyelesaian sengketa yang akan dipilih. Adapun tahapan penyelesaian
sengketa yang diatur dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah sebagai berikut:
1.
mediasi;
2.
konsiliasi; dan
3.
arbitrase.
Serta adanya dewan sengketa yang dalam
bagian Penjelasan UU Jasa Konstruksi 2017 diberikan pengertian sebagai tim yang
dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak sejak pengikatan Jasa Konstruksi
untuk mencegah dan menengahi sengketa yang terjadi di dalam pelaksanaan Kontrak
Kerja Konstruksi.
Dengan demikian, semangat yang
diusung dalam UU Jasa Konstruksi 2017 adalah penyelesaian secara musyawarah dan
mufakat dengan mengutamakan penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan.
Namun demikian, kiranya perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) UU
Jasa Konstruksi 2017. Dalam Pasal 47 ayat (1) UU Jasa Konstruksi 2017, salah
satu klausula yang dipersyaratkan tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi
adalah ketentuan mengenai: (a) penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan
tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; dan (b)
pilihan penyelesaian sengketa konstruksi. Dalam bagian penjelasan Pasal 47 ayat
(1) mengenai penyelesaian perselisihan disebutkan:
Penyelesaian
perselisihan memuat ketentuan tentang tatacara penyelesaian perselisihan yang
diakibatkan antara lain oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran,
atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam Kontrak Kerja Konstruksi serta
ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian.
Penyelesaian
perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase,
ataupun pengadilan.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut
mengenai perbedaan “penyelesaian perselisihan” dan “penyelesaian sengketa”.
Apabila mengacu pada pengertian “sengketa” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
“sengketa” berarti pula “perselisihan”.[2]Dengan demikian, dalam UU Jasa Konstruksi
2017 masih tercantum upaya hukum penyelesaian perselisihan melalui pengadilan,
walaupun dalam batang tubuh UU Jasa Konstruksi 2017 tidak mencantumkan hal
tersebut.
Mekanisme penyelesaian sengketa
melalui upaya di luar jalur pengadilan kiranya tepat untuk diterapkan pada
sengketa konstruksi dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama,
kerahasiaan mengenai sengketa. Kerahasiaan merupakan salah
satu keunggulan dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan,
baik pada saat proses maupun terhadap putusan yang tidak dipublikasikan.
Mengingat konstruksi terkait dengan banyak proses yang mana tidak seluruhnya
dapat dibuka untuk umum, terutama apabila bangunan yang menjadi obyek sengketa
termasuk dalam objek vital negara. Selain itu, diperlukan untuk menjaga
hubungan baik di antara para pihak, mengingat pelaku usaha dalam bidang jasa
konstruksi adalah terbatas.
Kedua,
para pihak dapat memilih pihak penengah (mediator/konsiliator/arbitrator) yang
memiliki keahlian di bidang konstruksi. Menurut Hellard (1987),
sengketa konstruksi dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
1.
Sengketa berkaitan dengan waktu
(keterlambatan progress);
2.
Sengketa berkaitan dengan finansial
(klaim dan pembayaran);
3.
Sengketa berkaitan dengan standar
pekerjaan (desain dan hasil pekerjaan);
4.
Konflik hubungan dengan orang-orang
di dalam industri konstruksi.
Pada umumnya sengketa-sengketa
tersebut atas akan berkaitan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
hal-hal bersifat teknis. Pada dasarnya Kontrak Kerja konstruksi merupakan
kontrak yang bersifat khusus yang mana memuat banyak aspek teknis.Sebagai
contoh, sengketa berkaitan dengan pembayaran dengan sistem prosentase progress pekerjaan sebagai
syarat pembayaran, tentunya memerlukan aspek teknik terkait dengan
penentuan progress pekerjaan yang
dapat diklaim. Dengan demikian, dalam penyelesaian sengketa konstruksi, tidak
saja dibutuhkan ahli hukum, namun diperlukan ahli pada disiplin ilmu lain,
terutama aspek teknis, untuk memahami akar permasalahan.
Ketiga,
jangka waktu penyelesaian sengketa jelas dan relatif singkat. Walaupun
perihal jangka waktu penyelesaian sengketa relatif singkat sebagai keunggulan
dari mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan (arbitrase) menurut
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa tidak selalu terjadi karena di beberapa negara penyelesaian melalui
jalur litigasi dapat ditempuh dengan waktu yang relatif singkat, namun saat ini
harus diakui bahwa jalur litigasi memakan waktu yang lebih panjang dibandingkan
dengan jalur di luar litigasi. Jangka waktu penyelesaian sengketa yang singkat
tentu lebih menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa, karena dapat segera
memperoleh kepastian mengenai penyelesaian atas sengketa yang sedang terjadi.
Bagi pelaku usaha konstruksi, berlaku pula hal demikian karena sengketa
konstruksi akan berkaitan dengan banyak hal seperti namun tidak terbatas pada
kelangsungan pekerjaan, pengalihan bangunan, penggunaan bangunan oleh pengguna
jasa, kepastian pembayaran. Khusus bagi penyedia jasa, sengketa yang
berlarut-larut dapat menghambat keterlibatan penyedia jasa pada tender-tender
proyek yang diselenggarakan oleh pengguna jasa yang sedang bersengketa.
Di samping ketiga hal tersebut di
atas, sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menarik investor asing untuk
menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk melalui sektor konstruksi, maka
dalam pengikatan kontrak-kontrak internasional, dalam pengalaman penulis,
penyelesaian sengketa melalui jalur di luar pengadilan lebih diminati.
0 komentar:
Posting Komentar